PLEASE LOOK AT ME
Author : Yeonhwa
Genre : Sad, Hurt, Romance (?)
Cast : Jeon Jungkook, Min Yoongi, Min Yoonri (OC)
Warning! Typo bergentayangan dimana-mana, alur cerita yang kurang
sedap, pemilihan kata yang amburadul. Maka dari itu mohon kritik dan sarannya
ya readers, supaya ke depan bisa lebih baik lagi.
Happy Reading ~~~
Summary : Gadis berparas cantik sedang menikmati alunan musik sambil memainkan ponselnya. Sesekali dia
tersenyum kearah layar benda berbentuk persegi empat itu. Tak selang bebarapa
lama, dia berlari ke arah pintu, menyambut hangat seseorang yang telah dinantinya.
Sementara tak jauh dari pintu rumahnya seorang pria memandangnya penuh
kesedihan, dia hanya bisa menikmati drama yang entah sampai episode berapa akan
berakhir. “ Kumohon lihatlah aku”.
***
“Ini ruangan isolasi bagi pasien dengan gangguan mental sedang hingga berat” ucap chief Resident sambil menerangkan status pasien-pasiennya. Seorang pria bernama Jeon Jungkook kini berada diantara segerombolan para calon dokter spesialis Jiwa atau psikiater. Profesi yang menuntut kesabaran dan pemahaman lebih kepada pasien-pasiennya.
Lantai 12 Kamar 20A. Ruang ini
merupakan salah satu dari sekian ruang VIP yang disediakan oleh pihak rumah
sakit. Sesuai dengan kelasnya, ruang ini hanya melayani pasien-pasien istimewa.
Perlahan Jungkook mengintip dari kaca kecil yang tertempel di pintu, dia hanya
bisa melihat siluet seorang gadis yang duduk diatas ranjangnya sambil tertawa
memainkan sekuntum mawar di genggamannya.
“Perawat Hwang bisakah aku
melihat status pasien kamar 20A?” pinta Jungkook. Lalu seorang perawat
menyodorkan papan yang didalamnya berisikan data dan status pasien yang
diminta. Sambil mendekat ke arah Jungkook perawat itu lantas berbisik.
“Kau tau dokter, pasien itu
cantik tapi sayang dia sungguh menyedihkan, kau tau kenapa?” belum selesai
perawat itu berbicara, kepala perawat berdehem bermaksud menghentikkan dongeng
itu, sementara Jungkook tersenyum membalas maksud kepala perawat Hwang.
Jungkook POV
Aku perlahan memasukki kamar itu,
ini sudah seminggu sejak aku menjadi dokter pendampingnnya. Dia gadis yang
kukenal bernama Min Yoonri, dia benar-benar menyedihkan. Parasnya yang cantik
dan ceria memang sepintas menutupi sakit yang dia alami.
“Ah dokter Jeon rupanya. Oppa kau
tau dokter Jeon ini sangat baik, dan tambahan lagi dia tampan” gadis itu
terkekeh sendiri. Bagiku dia sedang berbicara dengan udara kosong yang menyelimutinya,
tapi baginya dia kini sedang ditemani oleh seorang pria yang sangat dia cintai.
“bagaimana keadaanmu Yoonri-ssi?
Apakah pusingmu sudah berkurang?” tanyaku.
“Aku sudah sangat sehat sekarang,
dan aku...”
“Apakah kau sudah bisa tidur
nyenyak?” ucapku menubruk perkataannya sebelum dia kembali merengek meminta
pulang.
“sudah kubilang aku sudah sehat
dokter, bahkan lihatlah aku sudah menghabiskan sarapanku sampai tak tersisa”
ucapnya lucu sambil menunjukkan mangkuk nasinya yang telah kosong.
“sepertinya besok kau sudah bisa
pulang, tapi ingat jangan lupa untuk sesekali mengunjungiku hmm” aku mengelus
pundaknya, sebenarnya hati ini selalu ingin mengelus rambutnya, menenangkannya
dalam pelukanku, tapi itu mustahil, bahkan dia tidak mengenaliku.
Flash back
“Yoonri-ah kenalkan dia teman-temanku” Yoongi mengenalkan adik
perempuannya kepadaku, Seokjin, dan Jimin. Kami memang terpaut umur yang
lumayan jauh, tapi karena musiklah kami bertemu. Meski kami memiliki latar
pendidikkan yang berbeda tapi bukan berarti menghalangi persahabatan kami.
“Annyeonghaseyo, Min Yoonri imnida” gadis itu cantik. Dan memang benar
satu dantara kami telah berhasil merebut hatinya. dia Park Jimin, pria yang
kebetulan mengambil jalur pendidikkan yang sama denganku dan Yoongi, kami
sama-sama bersekolah di fakultas kedokteran. Lalu hubugan Jimin dan Yoonri
terjalin tak bebrapa lama setelah perkenalan kami dengan gadis itu. Dan sejak
saat itu pula aku menjadi penonton setia drama mereka. Selama 3 tahun aku
menjadi penonton mereka dan tak jarang aku menonton secara live, dan itu
membuat hatiku merasa perih namun aku memilih diam dan tersenyum. Hingga dia
awal tahun internshipku kabut gelap kembali menghantamku.
“Jungkook-ah kemari” seorang dokter memanggilku, aku yang watu itu
bertugas dibagian gawat darurat dan traumatologi segera menghampirinya.
“Pasien TA dengan kesadaran yang terus menurun, BP 40/30 dan pasien
sempat mengalami arrest tadi” papar seorang petugas 911. Sementara aku masih
sibuk dengan berkas-berkas yang harus disiapan untuk tindakkan pasien tersebut.
“Jungkook-ah siapkan ruang ct-scan dan ruang operasi” perintah dokter
itu lagi. Tanpa ba-bi-bu aku langsung menyiapkan segala yang diperintahkan. Dan
bagai tersambar petir di siang hari, dia pasien yang kini kutangani adalah
sahabatku sendiri, sahabat yang sudah ku anggap sebagai kakak.
“hyung” aku terdiam sesaat,
“apa yang kau lakukan cepat bawa pasien ke ruang ct san!”
“ba...baik saem!” dengan hati-hati aku mendorong brangkar tempat
kakakku terbaring lemah sekarang. kakiku terus melangkah namun mataku tak
sedetikpun menjauh dari pria yang kini diam tak sadarkan diri.
“apa kau mengenalnya?” ucap seorang perawat yang menemaniku.
“ya, aku sangat mengenalnya, dia kakakku” aku berasaha tegar.
Selesai dengan ct-scan aku lantas bergegas menuju ruang operasi, namun
aku tak bisa menemaninnya berjuang di dalam sana.
Unit gawat darurat ramai seperti biasanya tapi entah mengapa aku merasa
sepi, alih-alih ingin mencari minum, kakikku justru menuntunku ke kamar
operasi, dan seketika itu juga brangkar berisi manusia tak bernyawa melesat di
depanku. Tangannya terjatuh, seakan menjulur ingin memberitahukan sesuatu
kepadaku.
“Hyung...?.tunggu sebentar!” aku bergegas mendekat. Dengan penuh
keberanian aku membuka selimut putih yang menutupinya. Tuhan....apa-apaan ini,
hatiku sakit, rasanya aku kehilangan sesuatu yang berharga, dia, Jimin-hyung,
kakakku telah pergi.
“Apa kau mengenalnya?” tanya dokter bedah kepadaku.
“Ya aku mengenalnya” aku mengangguk dengan iringan sungai kecil yang
mengalir dipipiku.
“Maafkan kami, kami sudah berusaha dengan baik, tapi luka yang dia
derita cukup parah, fraktur di kepalanya membuat perdarahan di bagian otaknya
cukup parah, selain itu hemothorax yang terjadi juga memperburuk keadaannya, sekali
lagi maafkan kami.” Dokter bedah itu menjelaskan semua kronologinya. Dan aku
hanya bisa mematung.
Dan sejak saat itu aku tak mengetahui lagi keberadaan Yoonri, gadis
kecilku yang aku cintai. Hingga suatu hari di awal residensiku aku kembali
menemukkan dia disini.
***
“YA...!”
“Ah kau hyung, ada apa?”
“Bagaimana perkembangan adikku?”
“Sepertinya memang cukup sulit
untuk membuatnya pulih dalam waktu singkat hyung, tapi aku rasa untuk sementara
kita harus mengalah, mengikutinya.”
Dan percakapan menganai Yoonri,
membawa kami ke masa lalu. Cerita masa lalu memang sungguh menarik untuk
dijadikan bahan obrolan.
“Dokter Min...adik anda kembali lagi
ke sini, sepertinya dia mencoba unutk bunuh diri lagi” seorang perawat
terengah-engah memberikan kabar buruk itu.
“Kajja hyung!” aku bergegas ke
ruang gawat darurat. Dan benar saja gadis itu hampir saja mengakhiri nyawanya.
Pergelangan tangannya nyaris putus karena sayatan pisau.
“Yoonri-ah sampai kapan kau akan
seperti ini?” kulihat Yoongi memegang erat tangan adiknya itu, seakan tak rela
dia pergi dari sisinya. Di sampingnya seorang wanita penuh dengan kasih sayang
mengelus kepala gadis yang kini kembali terbaring lemah.
“Jongkook-ah harus sampai kapan
dia akan seperti ini?” pertanyaan yang benar-benar sulit untuk dijawab olehku.
Aku sendiri tak tahu sampai episode berapa drama ini akan berakhir setelah
sekian lama berhenti untuk semntara, dan ketika aku kembali ke rumah sakit
drama itu kembali menjadi tontonanku.
***
Hampir setahun dan drama ini
belum juga berakhir. Dengan segala upaya aku berusaha untuk mehamami dan
mengikuti alur cerita di drama itu. Yoonri, gadis yang selalu berada di hatiku,
entah sampai kapan dia terus seperti ini. Terkadang lelah kerap mengahampiriku,
lelah karena terus berpura-pura mengerti, lelah karena terus berharap akan
kedatangan gadis itu, lelah karena terus menjadi penonton setia.
Aku berada sepuluh langkah dari
rumah Yoonri, dan aku bisa melihat jelas gadis itu dari jendela. Dia sedang
sibuk dengan ponselnya. Mulut mungilnya bergerak-gerak seakan sedang
menyanyikan lagu yang ceria, mata indahnya memancarkan kebahagiaan yang sedang
dia rasakan. Sesekali dia tersenyum ke arah benda berbentuk segi empat itu. Dan
tak lama dia berlari ke arah pintu, seolah seseorang yang telah dinanti datang.
“Jimin oppa...” aku bisa
mendengar jelas nama itu, tangannya terjulur memeluk hangat sosok yang hanya
nyata didalam pikirannya itu.
Aku, aku seperti pria bodoh yang
hanya bisa diam mengamati dari jauh keceriaan gadis yang sangat dicintainya.
Setelah mengumpulkan keberanian aku melangkah maju, menghampiri pintu rumah
Yoonri. Tak perlu memencet bel Yoonri sudah berlari ke arahku, wajah cerianya
menyambutku, tangan kirinya mengamit lenganku mengajak masuk ke rumahnya yang hangat,
sedangkan tangan kanannya mengamit sosok Jimin. Dengan terpaksa aku tersenyum
kearahnya, aku tak ingin merusak kebahagiaannya walaupun hatiku terasa perih
melihatnya seperti ini.
“Kalian tunggu sebentar,duduk
yang manis dan jangan coba-coba untuk bertengkar, aku akan bersiap-siap, ara!”
ucapnya penuh peringatan “Ah ibu, kenapa hanya membawakan satu gelas cokelat
hangat, mana cokelat hangat untuk Jimin oppa?” wajahnya mulai merajuk ketika
melihat ibunya hanya membawa secangkir cokelat hangat.
“Tentu saja ada, tenanglah ibu
tidak melupakan jimin, ada satu dibelakang dan ibu sedang membuatkan yang
istimewa untuk Jimin.” Hembusan nafas panjang mengakhiri perkataan nyonya Min.
Mendengar jawaban ibunya, Yoonri lalu mencium pipi nyonya Min lalu bergegas ke
kamar.
“Ibu tak apa-apa?” aku menghibur
nyonya Min.
“Aku sudah lebih kuat sekarang
Jungkook-ah, aku mohon jaga Yoonri, dia sangat berharga bagiku dan Yoongi” nyonya
Min menggenggam tanganku penuh harap, dan aku tersenyum menanggapi permohonan
nyonya Min.
“Oppa ayo kita berangkat.” Senyum
cerianya sungguh membuatku tak pernah berhenti untuk mengatakkan Cantik,
sungguh cantik. Tangan kanannya memegang keranjang piknik. Aku rasa dia bekerja
keras unutk mempersiapkan acara liburannya ini.
“Bekal apa yang kau bawa
Yoonri-ah?” aku berusaha mencairkan suasana, karena jujur saja di mobil ini
begitu dingin, Yoonri terlalu sibuk dengan sosok Jiminnya itu sedangkan aku
seperti seorang supir yang sedang mengantarkan tuannya.
“Rahasia...yang pasti kau dan
Jimin oppa akan menyukainya.” Jawabnya meledek.
Aku tersenyum melihat polahnya.
Sesekali aku mencuri pandang melihat wajahnya yang ceria. Meski Yoonri selalu
ceria, aku justru merasa sedih, karena keceriaannya itu justru sakit baginya.
TIINNN...TTIIINNN....!!!!
Suara klakson mobil bersahutan,
macet. Tiba-tiba saja jalanan berubah macet, entah ada kejadian apa di depan.
Ku buka jendela mobil.
“Ahjussi, ada apa di depan sana?”
tanyaku pada pria yang berjalan di samping mobilku.
“Ada kecelakaan, dan korbannya
masih belum bisa dievakuasi” jawabnya. Aku lantas membuka pintu bermaksud ikut
menolong, karena bagaimanapun juga aku ini seorang dokter meski aku bukan
dokter ahli bedah sekalipun.
“Oppa mau kemana?” tanagn Yoonri
mencegahku untuk keluar.
“Kau disini saja, aku akan keluar
sebentar melihat keadaan di depan sana” aku melepaskan tangannya dari lenganku.
Benar saja, keadaan di depan sana
sunggh kacau. Korban banyak yang terhimpit badan bus, bahkan karena kondisi
jalanan yang macet parah tim 911 tidak bisa masuk ke lokasi kecelakaan. Aku
menggulung lenganku membantu mengevakuasi korban. Satu persatu korban aku
periksa keadaannya hingga petugas 911 datang.
“Dokter, tekanan darah pasien terus
menurun” seorang petugas 911 berteriak memanggilku. Mendengar hal itu aku
berlari menghampiri pasien yang dimaskud.
“ANDWEEEEE....!!!!!” aku
mendengar teriakkan seorang gadis.
Ya Tuhan, aku melihat gadisku
kini duduk bersimpuh di aspal, tangannya menutu telinganya, matanya terpejam
erat. Raut wajahnya berubah menjadi katakutan. Aku segera berlari
menghampirinya,
“Segera kirim pasien ke Rumah
Sakit terdekat!” aku mengisntruksikan kepada kru 911.
Kupeluk erat tubuh ringkihnya. Di
terus menangis, katakutan dan tak berhenti meronta. Aku paham memori buruknya
kembali menyerangnya. Tak ingin hal buruk terjadi, aku segera membawanya
kembali ke Rumah Sakit.
“Tidak mungkin! hentikkan!”
kembali, Yoonri meronta. Bahkan kini selang infus yang terpasang hendak di lepas
secara paksa.
“Apa yang kau lakukan?” kali ini
kesabaranku hampir habis. Aku mencengkram lengannya.
“Tidak mungkin, Jimin oppa masih
hidup! Dia tidak mati! Dia masih hidup!” Yoonri meronta, membentak, bahkan
matanya melotot kearahku, semua kebenciannya tergambar jelas di wajahnya. Aku
tak bisa lagi menahannya, dia melepas paksa tanganku lalu berlari keluar.
Aku berlari mencarinya namun
kalah cepat. Seseorang yang sedang terbakar emosi bisa melakukan hal-hal yang
diluar dugaan, bahkan tenaganya bisa lebih kuat dari biasanya. Ruang Gawat
darurat kini menjadi sasaranku, aku mencari kesetiap sudut, namun masih nihil.
Hingga Yoongi melintas di depanku dengan tergesa-gesa.
“Hyung, apa yang kau lakukan
disini?” belum sempat menjawab, aku melihat seorang gadis tergeletak di atas
brangkar, dan gadis itulah yang aku cari sekarang.
“Hyung kenapa bisa terjadi
seperti ini?” dan Yoongi masih diam, dia masih fokus dengan Yoonri. Rasa
bersalah benar-benar menghantuiku, aku tidak bisa menjaga Yoonri dengan baik.
“Cepat siapkan ruang ct-scan dan
ruang operasi, hubungi bagian neurologi, orthopaedi dan anastesi, SEKARANG!”
Yoongi yang kulihat kini sungguh menakutkan, belum pernah aku melihat wajahnya
setakut itu. Beruntung Yoongi juga bekerja di Rumah Sakit ini jadi tidak terlalu
repot dengan segala administrasi persyaratan-persyaratan tindakkan yang
sifatnya gawat darurat di sini.
“Maafkan aku hyung...” aku
tertunduk lesu di depan pintu ruang operasi.
“Tak apa-apa, ini bukan salahmu
Jongkook-ah” Yoongi menepuk pundakku berusaha untuk menenangkanku.
***
Sudah tiga hari berlalu tapi
kondisi Yoonri belum juga membaik, kesadarannya masih labil. Mesin pasien monitor
masih menemaninya dengan berbagai macam selang menempel di tubuhnya. Aku berusaha
untuk selalu di sampignya, menemaninya meski dia tak pernah melihatku.
“Ibu...” dia mengerang, jari
lentiknya bergerak-gerak, matanya terkejap-kejap.
“Kau sudah sadar Yoonri-ah?” aku
memastikkan kesadarannya dan bergegas menghubungi Yoongi, nyonya Min dan juga
dokter pendampingnya tentunya. Terimakasih Tuhan.
Kini tubuh Yoonri lebih lemah
dari sebelumnya, kecalakaan yang dia alami membuatnya kini harus menjalani
serangkaian fisioterapi yang sungguh melelahkan. Dengan sabar aku menemaninya
berlatih, walaupun dokter mengatakkan dia tidak akan bisa berjalan normal
kembali. Tapi bagiku melihatnya bisa kembali hidup adalah hal yang sangat
berharga.
“Kau sudah siap?” aku membuka
pintu kamar 205 tempat Yoonri dirawat. Hari ini Yoonri sudah di perbolehkan
pulang, dan aku berjanji padanya untuk menjemputnya.
“Aku sudah siap. Semuanya sudah
ku masukkan ke tas, dan ku pastikkan tak ada yang tertinggal” senyumnya kembali
terukir indah di wajahnya.
Sejenak aku mempir ke sungai Han,
sebelum aku mengantar Yoonri pulang. Aku ingin mengajaknya jalan-jalan sekedar
menghirup udara segar. Aku mengajaknya berkeliling sebentar di pinggiran sungai
Han yang sejuk. Pemandangan saat itu sungguh indah, warna daun yang menguning yang siap untuk terjatuh dari ranting-ranting pohon menjadi pemanis tersendiri disekitar sini. Aku
menghentikkan langkahku di bawah pohon maple.
“Yoonri-ah tunggu disini
sebentar, aku akan membeli minuman hangat kesukaanmu” aku beranjak dari
sisinya, namun tiba-tiba tangannya menahanku.
“Jangan pergi oppa, aku takut,
temani aku”
“Apa maksudmu? Aku hanya pergi ke
sana sebentar” aku menunjuk minimarket yang berada tak jauh dari sini.
“Aku mohon oppa, jongkok oppa...”
dia menatapku, matanya menyiratkan kalau dia berkata sungguh-sungguh ingin
ditemani olehku. Aku berjongkok menyesuaikan tinggi badanku dengan kursi
rodanya.
“Apa yang membuatmu takut hmm?”
aku menggenggam tangannya.
“Aku ingin memulainya dari awal
oppa, tolong temani aku untuk memulainya karena aku terlalu takut oppa...” air
matanya menetes, gadisku menangis.
Refleks aku memeluknya dan tak kusangka
dia membalas pelukanku, dan kini aku bisa merasakkan hal yang memang sudah lama
aku ingin rasakkan.
“Tenanglah aku disini akan
menemanimu Yoonri-ah, mari kita mulai semuanya dari awal” aku mengelus
rambutnya, memelukknya erat, dan meyalurkan semua yang ku impikan selama ini.
Terima kasih Yoonri-ah kau kini bisa melihatku, aku akan berusaha menjagamu
dengan baik, aku janji akan menemanimu selama aku masih bernafas.
END
Silahkan kritik dan sarannya untuk segera di tuangakan dalam
coretan-coretan komentar kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar